Abraham: Pemimpin yang Menjadi Berkat dan Berkorban


Artikel Kepemimpinan Gereja Bag-3

Seperti Abraham, kepemimpinan menjadi saluran berkat dan bersedia
berkorban bagi orang lain. Seorang pemimpin bersedia untuk membayar
harga apa pun. (Jason Byassee)

Alkitab tidak banyak memuat contoh kepemimpinan yang nyata. Teladan-teladan yang diberikan oleh Musa dan Yesus tidak mudah ditiru oleh orang-orang biasa seperti kita. Saat menelusuri tempat lain dalam Alkitab, acapkali kita menemukan contoh-contoh yang tidak patut diteladani. Coba Anda luangkan beberapa menit membaca kitab Hakim-Hakim dengan saksama. Mungkin, tidak disangka-sangka sumber perenungan tentang kepemimpinan ditemukan dari Abraham yang menjadi panutan dalam tiga agama besar dunia. Ellen F. Davis dari Duke Divinity School menggambarkan panggilan Abram [nama Abraham saat ia dipanggil Allah] dalam Kejadian pasal 12, sebagai bagian dari pola yang terdapat dalam seluruh Kitab Kejadian. Allah memunyai inisiatif (contohnya, saat penciptaan). Allah memulai hubungan dengan manusia (Adam dan Hawa). Kemanusiaan menghalangi keharmonisan hubungan Allah dengan ciptaan-Nya. Allah menghukum (pengusiran, pedang berapi, dan semacamnya). dan kemudian Allah memulai inisiatif baru (Nuh, Abraham, dan "ad infinitum" sampai sekarang). Bagi Davis, Abraham bertindak sebagai pemimpin tiga peristiwa dalam Kitab Kejadian: berkatberkatnya, doa-doanya untuk Sodom dan Gomora, dan ketaatannya mengurbankan anaknya.

Pertama-tama, Abraham menerima berkat Allah. Bagaimana? Allah mencurahkan berkat kepada Abraham sebagaimana dia mencurahkan hujan ke bumi pada zaman Nuh. Dalam Kejadian 12:2-3 Allah mengutarakan berkatnya sebanyak lima kali kepada kepala keluarga baru tersebut. Menurut terjemahan Davis: "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan jadilah berkat! Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Sebelumnya, Allah menyatakan berkat sebanyak lima kali dalam kitab Kejadian -- hewan-hewan di laut dan udara (Kejadian 1:22), manusia (Kejadian 1:28), hari Sabat (Kejadian 2:3), Nuh dan keluarganya (Kejadian 9:1), dan Sem (Kejadian 9:26). Nah, kelima berkat ini disebutkan dan dijumlahkan menjadi lima berkat bagi Abraham. Sebelumnya, Allah bekerja lewat seluruh kemanusiaan, namun saat ini Allah menyempitkan fokus mulia untuk satu keluarga – melalui keluarga itu Allah memberkati yang lain. Serupa dengan penciptaan baru. Davis mengatakan bahwa berkat kedua (Kejadian 12:2-3) dari kelima berkat Abraham sering disalahterjemahkan, sebagaimana terjemahan Alkitab BIS mengatakan, "... sehingga engkau akan menjadi berkat." Davis menerjemahkannya dalam bentuk perintah: "jadilah berkat!" Ini adalah sebuah perintah untuk memberkati orang lain -- sebagai panggilan untuk menjadi seorang pemimpin. Dengan berani, oleh Davis Abraham disebut sebagai, "inkarnasi berkat". Dia adalah sebuah prisma; melalui prisma tersebut orang lain bisa melihat cahaya berkat menyinari mereka.
Dia adalah sebuah saluran; Allah menjanjikan melaluinya seluruh bangsa akan diberkati. Berkat, atau dengan analogi, kepemimpinan, bukanlah sesuatu barang yang dapat dimiliki seseorang untuk dirinya sendiri. Contohnya, roti manna akan rusak jika disimpan semalaman. Kepemimpinan diberikan untuk diberikan dan dibagikan dengan melimpah seperti minyak yang mengalir ke janggut Harun atau sisa-sisa roti dan ikan saat Yesus bersama ribuan orang.

Kedua, Abraham adalah pemimpin yang -- menurut perkataan Davis -- "mempertaruhkan nyawanya untuk umat [Allah]". Sebelum Allah turun untuk menghancurkan Sodom, Dia memutuskan untuk melibatkan Abraham dalam rencana-Nya untuk menghukum Sodom. "Sebab Aku telah memilih dia," ujar Allah. "Apakah Aku akan menyembunyikan kepada Abraham apa yang hendak Kulakukan ini?" (Kejadian 18:19, 18:17) Allah memiliki hubungan yang intim dengan Abraham seperti Adam dengan Hawa (Kejadian 4:1), atau sebagai sekutu politik yang terikat dengan perjanjian dan yang saling mengenal dan memercayai satu sama lain (Yesaya 41:8 dan 2 Tawarikh 20:7). Abraham adalah orang pertama yang menerima jalinan persahabatan yang
akrab dengan Tuhan seperti ini. Apa yang akan dilakukannya dengan hubungannya ini? Dia akan tawar-menawar dengan Allah demi orang lain. Abraham dengan berani mengambil sikap dalam rencana Allah: "Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? ... tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu?"
Latar belakang cerita itu adalah sebuah pasar di Timur Tengah. "Abraham adalah penawar yang ulung," kata Davis. Dia berhasil bergulat dengan Allah sehingga Allah bersedia mengampuni kota tersebut jika ada 10 orang benar di antara mereka. Bukan kesalahan Abraham jika tidak ditemukan 10 orang seperti itu di kota tersebut. Tindakan membela orang di hadapan Tuhan, menjadi jembatan antara orang berdosa dengan Allah, dan menyampaikan keberatan terhadap rencana penghancuran sebuah kota, akan terus-menerus menjadi karakter tersendiri dari kepemimpinan Israel di sepanjang Alkitab. Musa, Yeremia, Yehezkiel, dan yang lainnya memohon belas kasihan, bukan untuk kota fasik, namun bagi kelepasan Israel, dengan mempertanyakan keadilan Allah dan memohon pengampunan dari Allah.
Bagi orang Kristen, pembelaan yang berisiko ini mencapai puncaknya pada salib Kristus: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Kepemimpinan mempertaruhkan nyawa untuk orang lain. Kepemimpinan berani mendekati takhta Allah yang berbahaya tetapi penuh anugerah, memegang janji Allah, dan meminta sebuah jawaban, seperti seorang penawar dalam basar.

Ketiga, kepemimpinan mengakui bahwa harga mengikuti Allah adalah -- dalam kata-kata T.S. Eliot -- "harus memberikan seluruhnya!" Dalam Kejadian 22, Abraham memiliki pengalaman perjalanan Kalvarinya sendiri di Gunung Moria. Perintah untuk mengurbankan Ishak telah menjadi sumber inspirasi karya-karya seni yang mengesankan, mulai dari keprihatinan filsafat eksistensial Kierkegaard hingga ke lukisan Rambrandt. Bagaimana tidak? Dengarlah pengulangan Allah tentang siapa yang dikurbankan menurut perintah-Nya di Kejadian 22:2: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah...."
Seluruh janji Allah untuk menjadikan orang tua ini bangsa yang sangat banyak – sebanyak bintang dan pasir yang tidak terhitung jumlahnya -- benar-benar dipertanyakan. Dalam bukunya, "Getting Involved with God: Rediscovering the Old Testament", Davis menggambarkan bagaimana rabi-rabi zaman dahulu membayangkan percakapan antara Allah dan kepala keluarga tersebut sebagai percakapan yang cukup berbeda dengan peristiwa tawar-menawar mengenai nasib kota Sodom. Abraham mencoba menawarkan Ismail, alih-alih Ishak.
"Ambillah anakmu!"
"Saya memiliki dua anak."
"Anakmu yang tunggal itu."
"Yang satu ini adalah anak tunggal ibunya, dan yang lain juga merupakan anak tunggal ibunya!"
"Yang engkau kasihi."
"Aku mengasihi kedua-duanya!"
"Ishak!"
Maka pergilah Abraham. Ishak berpura-pura bertanya, "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk kurban bakaran itu?" (Kejadian 22:7). Seniman telah menggambarkan Ishak dengan benar, yakni memegang alat yang akan menghancurkan dirinya dan ayahnya ketika mereka mendaki gunung bersama. "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya, anakku...." (22:8) dan Allah memang menyediakannya -- tetapi hanya sesudah Abraham mengulurkan tangannya untuk pisau untuk menyembelih Ishak. Pelajaran kepemimpinan apakah ini? Kurban seorang anak tidaklah terpuji di bagian mana pun dalam Alkitab -- cerita ini memang dibaca sebagai peralihan dari ritual-ritual keagamaan berhala atau keagamaan sebelumnya di Israel. Hal ini merupakan kisah tentang tuntutan dari Allah yang sulit dan mudah marah. Apakah Abraham akan berpegang teguh pada janji Allah dan mengabaikan perintah Allah untuk mengurbankan seseorang? Atau, akankah dia berpegang teguh pada Allah saja? Bagi orang Kristen, cerita ini menandakan satu pengurbanan yang tidak bisa dibayangkan, pengurbanan Anak oleh Bapa, yang memberi kita semua kehidupan. Menurut Davis, ada gambaran lainnya: pandangan tentang Allah yang rentan. Kami tidak memunyai catatan yang menggambarkan respons Abraham terhadap intervensi malaikat ini, namun sebaliknya, Davis berkata, kelegaan Allah meledak-ledak di lembaran kisah ini: Telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." (Kejadian 22:12)
Allah memunyai alasan bersikap waspada. Manusia telah mengecewakan- Nya sebelumnya, dan akan mengecewakan-Nya lagi, hingga tidak terhitung banyaknya. Akan tetapi, Abraham tidak mengecewakan-Nya. Pada saat itulah Allah tahu bahwa dia tidak akan mengecewakan-Nya. Kepemimpinan yang diajarkan secara alkitabiah tidak melayani Allah yang jauh, bukan Allah yang menuntut pengurbanan manusia, bukan Allah yang dapat atau enggan mengirimkan kilat jika Dia dibangunkan dari tidur-Nya. Allah yang kita layani adalah Allah yang kepedulian- Nya sangat dalam dan dekat dengan kemanusiaan ketika Dia sendiri memasuki sejarah manusia. Pertama-tama dalam pemilihan Israel dan kemudian dalam inkarnasi Yesus. Kepemimpinan
dalam gambaran ini mencerminkan kerentanan, kerendahan hati, bahkan kesiapan mati yang
ilahi.

Kisah mengurbankan Ishak adalah kisah yang lebih menekankan tentang ketaaatan yang sungguh-sungguh kepada perintah ilahi yang mustahil. Namun Abraham mengawali pemikiran awal kepemimpinan alkitabiah. Kepemimpinan yang menjadi saluran berkat bagi yang lain. Kepemimpinan yang mempertaruhkan nyawanya untuk orang lain, dan yang berani membayar berapa pun harganya.

Diterjemahkan dan disunting seperlunya dari:
Judul asli artikel: Abraham as leader?
Penulis: Jason Byassee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RENUNGAN

KRISTEN PROGRESIF vs AJARAN ALKITAB

11 April 2024   KRISTEN PROGRESIF vs AJARAN ALKITAB   Beberapa hari ini kita dimarakkan dengan viralnya video yang menayangkan wawancara den...